Tujuan saya ke Bangkok yang paling
utama sebenarnya ingin melihat pertunjukan banci show yang dibicarakan orang-orang.
Ingin tahu, secantik apa banci disini, yang bahkan para lelaki yang biasanya ‘jijay’
sama banci pun ikutan merem melek. Tadinya saya berniat menonton Calypso
Cabaret yang memang dari dulu paling terkenal di Bangkok, namun supir taksi
yang merangkap penjual tiket tur-tur di hotel berbintang, menawari kami pertunjukan
baru, bernama Mambo Cabaret. Sama seperti Calypso, Mambo Cabaret ini juga
menampilkan banci-banci cantik melenggak-lenggok di atas panggung. Jadilah kami
terhasut dengan penawaran sang supir yang ternyata memang lebih murah harga
tiketnya hhehe. Sore-sore kami dijemput sopir taksi ramah yang ber-job ganda kemarin. Saat pertunjukan akan dimulai, kami memasuki
ruangan teater kecil yang penontonnya juga tidak terlalu banyak. Namun, ada kejadian yang
mengecewakan saya. Saat kami mencari nomor tempat duduk yang kami pilih sendiri saat
pembelian tiket, tempat duduk kami sudah ditempati orang lain. Akhirnya kami
memanggil petugas teater dan setelah diperiksa, nomor tempat duduk kami dan orang-orang tersebut sama !
Tidak mau terima, kakak perempuan saya marah-marah kepada petugas dan meminta
pertanggungjawaban. Laki-laki dan perempuan yang duduk di tempat itu pun cuek,
melihat kami berdiri di depan tempat duduk yang seharusnya juga milik kami. Sampai
akhirnya kami diminta mengalah dan diberikan tempat duduk yang lain. Sungguh,
saya benar-benar sangat kecewa dengan cara kerja mereka yang kurang
profesional. Bisa-bisanya ada nomor tempat duduk yang sama, dan saat kami
kebingungan dengan tempat duduk, tidak ada satu petugas pun yang datang untuk
membantu atau sekadar menawarkan bantuan, sampai akhirnya kakak saya harus mencari dan memanggil mereka. Kami
pun dibiarkan mengatung-ngatung berdiri di barisan tempat duduk tanpa dilayani
sampai kemudian kakak saya akhirnya meminta tempat duduk yang lain kepada petugas
tersebut dengan kesal.
Beberapa menit kemudian, acara
dimulai. Show nya jujur menurut saya biasa saja. Yang membuatnya menarik hanya
karena dimainkan para banci, tata panggung, serta kostum pemain yang berwarna-warni.
Mereka menari di atas panggung dengan tema dan lagu-lagu yang
berbeda-beda. Saya hanya menemukan 2 orang banci yang cantik luar biasa, yang mengingatkan saya pada personil girlband Korea. Usaha para banci tersebut patut dihargai. Terlihat mereka berusaha untuk tampil sebaik mungkin agar para penonton puas dan show mereka bisa lebih berkembang. Namun, ada satu hal yang
membuat saya menjadi kesal dan malas menonton pertunjukan. Diantara para banci
ada satu banci yang menjadi penari latar dan menari sangat ogah-ogahan. Mimik
mukanya malas-malasan dan seperti terpaksa tampil di panggung. Huh, saya kesal
sekali melihatnya. Parahnya, dia tampil di semua tema dan lagu. Penampilannya
‘menghancurkan’ semua penampilan para penari lain yang bagus dan sudah bersusah
payah memeriahkan pertunjukan. Kalau memang tidak mau menari, lebih baik tidak
usah tampil, daripada mengacaukan segalanya.
Setelah pertunjukan selesai, kami
semua berhambur keluar dan sibuk memilih banci mana yang akan kami ajak foto
bersama. Untuk berfoto bersama banci, kami membeli tiket seharga 50 Baht di
loket sebelum pertunjukan mulai. 1 tiket berlaku untuk satu kali foto. Tentu
saja, yang paling ramai dikunjungi adalah 2 orang banci super cantik yang saya
bilang tadi (saya juga ikutan hhehe). Setelah berfoto, kami memberikan tiket
itu kepada banci tersebut. Jadi disana semua banci bertujuan mengumpulkan tiket
sebanyak-banyaknya dari pengunjung (yang mungkin bisa ditukarkan uang oleh
mereka). Paling miris adalah banci yang kurang cantik dan para pemain pria nya
(ada juga pemain yang masih pria ‘tulen’). Mereka memanggil-manggil kami dan berusaha
membujuk untuk berfoto, karena jarang yang berfoto bersama mereka (artinya
tiket yang mereka dapat juga sangat sedikit). Usai keramaian jepret-jepretan, kami
dijemput kembali oleh si supir taksi sebelumnya. Kalau menurut mama saya, dia lebih
menyukai Calypso, karena lebih ada ceritanya. Namun, katanya kalau dilihat dari
bancinya jauh lebih ‘mendingan’ yang disini hhehe. :)
Mambo Cabaret
Mambo Cabaret
Mambo Cabaret (kanan: salah satu banci super cantik yang saya bilang!)
Sebelum pergi ke Bangkok, saya
diberitahu teman, bahwa saya wajib menonton pertunjukan bernama Siam Niramit.
Dia bilang, saya belum ke Thailand kalau belum pergi kesana. Wow, segitu hebatnya kah? Saya jadi makin penasaran. Karena selama ini, saya hanya mengenal pertunjukan yang
ada ‘banci-banci’ nya saja. Siam Niramit akhirnya masuk ke dalam trip list saya. Bagi backpacker atau traveler yang tidak suka berfoya-foya, mungkin harus berpikir panjang
untuk memasukannya ke dalam budget trip,
karena harganya yang menurut saya tidak murah. Kami memesan tiketnya via online seharga 1350 Baht.
Sore hari, kami sekeluarga naik MRT
menuju MRT Thailand Cultural Center Station, tempat dimana mobil penjemput
menunggu. Mobil jemputan termasuk dalam fasilitas yang diberikan bagi
pengunjung yang akan menonton pertunjukan Siam Niramit. Fasilitas ini termasuk
dalam harga tiket. Mobilnya jenis shuttle
bus, yang cukup untuk menampung 8-10 orang. Perjalanan ke tempat tujuan
agak lama karena kami sempat terjebak macet. Daerah tempat tujuan ternyata
merupakan daerah ramai yang dipenuhi mobil, terutama saat itu saat jam pulang
kantor.
Sesampainya disana, parkiran
didominasi bus-bus besar rombongan tur yang diisi para turis dari berbagai
daerah asal. Kami sampai lebih awal, sekitar jam 6 sore., dan kawasan masih
terlihat sepi. Kami menunggu beberapa jam sebelum acara. Namun, tenang saja.
Menunggu sama sekali bukan hal yang membosankan. Saat sampai, kami disambut
dengan seorang wanita cantik berpakaian budaya Thailand dan mengajak berfoto
bersama. Foto tersebut kemudian bisa kita beli setelah beberapa menit dicetak.
Lalu kita bisa juga berfoto bersama dengan wanita cantik yang berpakaian lebih
cantik dari yang menyambut kami dengan kedua temannya yang berpakaian
warna-warni dan menggunakan topeng. Untuk berfoto bersama mereka dengan
menggunakan kamera milik pribadi, kita cukup menyumbang secara sukarela.
Berfoto saat menunggu pertunjukan mulai
Setelah asik bernarsis-narsis ria dengan para wanita cantik, kami berkeliling ke dalam taman kecil yang ada disana. Tamannya cukup indah dan menenangkan pikiran. Semua pohon dan tanamannya diberikan keterangan, cukup membantu bagi saya dan keluarga yang rata-rata ‘buta’ soal tanaman. Di dalam taman, juga disuguhkan rumah-rumah di Thailand jaman dulu, dan didalamnya ada orangnya! Hhaha, mereka bukan menetap disitu, tapi memang mengajak pengunjung untuk masuk dan beraktifitas seperti membatik, menenun, atau sekadar berfoto ria. Setelah asik berjalan-jalan, tiba-tiba serombongan penari masuk te tengah-tengah kawasan dan menari dengan manisnya. Ditambah ada juga Hanuman (manusia yang berwujud kera) yang bergerak-gerak mengikuti para penari. Kalau masih kurang lengkap, ada juga gajah-gajah ramah yang menunggu untuk diberi makan atau dinaiki untuk mengelilingi kawasan tersebut.
Gajah-gajah ramah yang menunggu diberi makan
Pukul 8 malam, show akan dimulai.
Kami semua digiring masuk ke dalam ruangan seperti tempat pertunjukan teater. Dan
mulailah acara tersebut. Pertunjukan ini dimainkan oleh ratusan orang dengan
peralatan dan latar panggung yang menakjubkan! Sungguh saya speechless. Mulut tidak bisa berhenti
menganga dan berkata wow, wow dan WOW. Amazing!
Tiket seharga 1350 Baht benar-benar saya lupakan. Saya tidak berhenti
dikejutkan oleh rasa takjub saat menontonnya. Cerita pertunjukan berkisah
seputar tentang budaya awal Thailand dan ajaran-ajaran yang dianut masyarakatnya.
Sayangnya, selama pertunjukan berlangsung, penonton dilarang mengambil gambar
(kamera wajib dititipkan di tempat penitipan yang tersedia). Saya setuju dengan
hal ini dan berniat tidak menceritakannya secara detil, karena itu mungkin
dapat mengurangi rasa takjub Anda saat menontonnya. Saya sendiri benar-benar
menikmatinya karena dari awal, tidak mencari tahu detail show nya. Pokoknya
benar-benar GA NYESEL ! :)
#Catatan : Selesai pertunjukan,
segeralah cepat-cepat keluar dan menuju parkiran. Karena mobil jemputannya
bersifat ‘siapa cepat dia dapat’. Kita bisa naik mobil jemputan yang berbeda
dari awal berangkat dan dalam beberapa menit saja, mobil langsung penuh dengan
orang-orang. Kalau semua sudah penuh atau ketinggalan, bisa tidak dapat dan
terpaksa naik transportasi umum sendiri.
Shuttle bus akan menurunkan
penumpang di MRT Thailand Cultural Centre Station.
Slurpp, Bangkok itu surga bagi saya
yang pencinta daging. Berbagai macam daging ada disini. Dari sapi, ayam, sampai serangga (namun daging serangga hanya dapat ditemukan di beberapa tempat khusus di Thailand). Yang paling banyak
ditemukan, tentu saja daging B2 (baca: babi). Disini hewan-hewan tersebut
berlimpah dan sudah dibumbui (nyam!). Pertama kali sampai di hotel, perut saya
memanggil untuk mendatangi gerobak berasap wangi semerbak. Belasan tusuk-tusuk
daging yang sedang dibakar menggoda mata juga indera pengecap saya. Murah pula
! 1 tusuk yang isinya daging semua, hanya seharga kurang lebih 16 baht atau sekitar 5000 rupiah. Saya 'kalap'. Pilih ini itu ini itu. Hasilnya? Beberapa tusuk tidak termakan oleh
saya. Karena belakangan saya baru tahu, bahwa tusukan itu juga berisi hati dan
usus. Ow yeah.
Saya dan kakak saya, tengah menikmati sate daging ayam
Selain sate yang bermacam-macam
jenisnya, haram hukumnya kalau pergi ke Thailand tapi tidak mencoba makanan
yang satu ini : Tom Yam (atau Tom Yum). Dari namanya saja Tom YAM, sudah pasti
rasanya YAMmy. Tom Yam terdiri dari campuran sayur dan daging yang direbus di
dalam kuah berbumbu. Kuahnya berasa asam pedas dan segar. Di Jakarta, sudah
banyak yang menjual Tom Yam, namun memang lebih poll dan berbeda kalau mencicipinya di Negara asal. Favorit saya Tom
Yam Seafood, berisi udang, cumi, dan potongan fillet ikan. YAMmy!
Saya juga sempat mencoba Pad Thai dan Khao Pad Poo. Pad Thai semacam kwetiau goreng, dengan topping campuran kacang, potongan ayam, dan orak-arik telur. Rasa kacangnya sangat dominan dan memunculkan rasa asam yang tidak biasa. Khao Pad Poo adalah nasi goring dengan potongan kepiting, orak-arik telur, ditambah perasan jeruk nipis. Rasanya istimewa, seperti nasi goreng yang segar.
Bicara tentang kuliner, kurang poll rasanya kalau tidak mencoba Thai Ice Tea (mirip-mirip dengan teh tarik asal Malaysia, dibuat dari campuran teh dengan susu). Ya ampun, saya fans berat minuman ini. Jadi disini serasa surga bagi saya ! Sepanjang perjalanan di Bangkok, setiap beberapa meter, saya menemukan tulisan ‘THAI ICE TEA’ di gerobak memanggil-manggil. Ya, Thai ice tea yang biasa kita temui di restoran-restoran cukup mewah di Jakarta, dijajakan secara murah meriah dan berlimpah di gerobak-gerobak minuman di tepi jalan. Anggapannya, Thai ice tea disana sama seperti Teh Botol disini hhehe. Alhasil, sebagai penggemar berat, dalam sehari saya bisa meneguk 4-5 gelas besar Thai Ice Tea disini. Setiap makan pagi, siang, malam, saya selalu pesan, setiap jalan ke tempat-tempat wisata, lalu haus, tak lupa pesan (ke ibu-ibu pedagang) lagi. Saya rasa pulang-pulang risiko diabetes menghampiri :p
Saya juga sempat mencoba Pad Thai dan Khao Pad Poo. Pad Thai semacam kwetiau goreng, dengan topping campuran kacang, potongan ayam, dan orak-arik telur. Rasa kacangnya sangat dominan dan memunculkan rasa asam yang tidak biasa. Khao Pad Poo adalah nasi goring dengan potongan kepiting, orak-arik telur, ditambah perasan jeruk nipis. Rasanya istimewa, seperti nasi goreng yang segar.
Bicara tentang kuliner, kurang poll rasanya kalau tidak mencoba Thai Ice Tea (mirip-mirip dengan teh tarik asal Malaysia, dibuat dari campuran teh dengan susu). Ya ampun, saya fans berat minuman ini. Jadi disini serasa surga bagi saya ! Sepanjang perjalanan di Bangkok, setiap beberapa meter, saya menemukan tulisan ‘THAI ICE TEA’ di gerobak memanggil-manggil. Ya, Thai ice tea yang biasa kita temui di restoran-restoran cukup mewah di Jakarta, dijajakan secara murah meriah dan berlimpah di gerobak-gerobak minuman di tepi jalan. Anggapannya, Thai ice tea disana sama seperti Teh Botol disini hhehe. Alhasil, sebagai penggemar berat, dalam sehari saya bisa meneguk 4-5 gelas besar Thai Ice Tea disini. Setiap makan pagi, siang, malam, saya selalu pesan, setiap jalan ke tempat-tempat wisata, lalu haus, tak lupa pesan (ke ibu-ibu pedagang) lagi. Saya rasa pulang-pulang risiko diabetes menghampiri :p
Thai Ice Tea di sebuah restoran
Ketika datang ke Bangkok, saya
ingin sekali bertualang kuliner, apalagi kuliner dari ‘restoran dadakan’ yang
buka di trotoar jalan-jalan pada waktu sore hari. Sekitar jam 4 atau 5 sore, di
trotoar-trotoar jalan yang memang luas, akan terlihat pemandangan para pedagang
bolak-balik menaik-turunkan kompor, meja, tenda, kursi, tempat barbeque
(seperti tempat arang penjual sate), dll. Yang saya kaget, adalah pernah
beberapa kali ketika makan di 'restoran dadakan' itu, saya melihat suatu alat
yang besaar sekali ditutupi kertas aluminium. Benda itu semacam cerobong yang
terhubung dengan peralatan kompor dan tempat panggangan. Ternyata fungsinya
agar asap dari tempat panggangan atau kompor dapat dialirkan ke atas dan tidak
mengganggu orang yang sedang makan atau sekadar lewat di trotoar tersebut. Wow.
Saya tidak dapat membayangkan, setiap hari mereka harus menggotong-gotong benda
itu, karena di pagi hari saya tidak melihatnya sama sekali.
Satu hal yang saya baru tahu di
Thailand ini. Hampir semua masakannya, memakai daun ‘bangsat’. Hah? Saya
melongo ketika mama saya bilang itu. Ternyata daun ‘bangsat’ itu maksudnya daun
ketumbar hhaha. Memang itu daun ngapain ya bisa sampai dikatain terus-terusan
begitu?
Namun, saya sungguh tidak berjodoh
dengan si daun ini. Baunya membuat saya tidak tahan. Dan sialnya, kecuali makan
di restoran-restoran di dalam mal, makanan di ‘restoran dadakan’ seringkali
memakai bumbu wajib ini. Jadinya, saya sering susah makan karena beberapa menu
tidak disebutkan pakai bumbu ini atau tidak (kalau bertanya dengan penjualnya
ada atau tidaknya daun itu, bisa berjam-jam mungkin baru sama-sama mengerti
hhaha).
Selain berpergian ke beberapa
tempat melalui jalur darat, Thailand juga menyuguhkan transportasi air bagi
penduduknya. Dengan menggunakan perahu boat.
Boat yang saya naiki menuju Wat Pho
hanya seharga 5 Baht per orang. Kami pergi ke Center Piehr, dimana merupakan
semacam ‘stasiun’ untuk boat-boat
ini. Disini, masyarakatnya sering menggunakan boat untuk pergi ke suatu tempat, bahkan pergi ke tempat kerja.
Tempat-tempat tersebut biasanya memang hanya bisa dicapai menggunakan jalur
air. Perahu yang digunakan pun bermacam-macam jenis dan ukurannya. Saat
menunggu datangnya perahu tujuan kami, saya melihat beberapa perahu motor cepat
yang dihasi banyak ornamen, bahkan ada berbentuk naga kecil juga. Saat saya
lihat penumpangnya hanya beberapa orang dan masih luas, saya berpikir harga
tiketnya pasti selangit karena berjenis private.
Boat yang akan kami tumpangi
ukurannya juga cukup besar (tanpa ornamen), dengan tempat duduk, dan bisa
berisi hingga 20 orang (bahkan lebih karena banyak yang berdiri). Jadi yang
kami naiki, benar-benar semacam ojek perahu, bukan untuk jalan-jalan keliling
sungai. Para pengemudi boat saling
berkomunikasi dengan si penjaga stasiun menggunakan walkie-talkie. Namun, saat
itu kami menunggu cukup lama (bersama serombongan orang) sampai perahu tujuan
kami datang. Entah jadwalnya yang memang acak, atau kami yang tidak menemukan
(atau tidak bisa membacanya).
Saat kakak perempuan saya membeli
tiket di loket, ia berhadapan dengan seorang wanita yang terlihat sibuk di
balik kaca loket.
Kakak saya :
“We want to buy ticket to go to Wat Pho”
Wanita :
“Peyon debot madam” (dengan suara berat dan ‘cempreng’, yang ternyata Anda tahulah wanita ini siapa)
Kakak saya :
Sorry?
Wanita :
“Peyon debot madam”
Kakak saya : “Ha? Ticket to go to Wat Pho…
Wanita :
“Peyon debot madam, peyon de bot madam” (suaranya makin berat dan kencang)
Tahukah
Anda maksudnya? Ternyata maksudnya : “Pay on the boat, madam”
Ya ampun. Saya, kakak saya, serta
mama saya tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan kakak saya. Sampai
saatnya masuk kapal, kami masih terkikik-kikik sambil bersuara berat menirukan
si wanita loket, “Peyon debot madam, peyon debot madam” :)
Interior boat yang saya naiki
(saat itu terhitung sepi, karena gantungan-gantungan nganggur, tidak ada orang yang berdiri)
Saat perjalanan dengan boat, banyak pemandangan indah yang bisa dinikmati
Pantene Commercial Ad
Cheers Commercial Ad
Sebagai anak desain, saya selalu tertarik dengan ide-ide kreatif suatu Negara. Saat saya mahasiswa semester 4, saya pernah disuguhi iklan-iklan produk dari Thailand oleh dosen Advertising saya. Selain pemainnya cantik dan tampan (eh bukan itu yang mau saya bahas), ide iklannya unik sekali. Jadilah selama 2 jam pelajaran itu, satu kelas tertawa terbahak-bahak sampai menangis. Walau pendek (hanya 15-30 detik), tapi ‘mengena’ di hati kami. Berlebihan ya? Coba cek sendiri di Youtube, pasti setidaknya seulas senyum mampir di bibir Anda saat melihatnya. Nah, saat pergi ke Bangkok, saya betah sekali naik MRT. Betah menonton iklan-iklan di televisi yang dipasang tiap beberapa meter dalam gerbong. Kalau saya tidak memperhatikan gerak-gerik orang dalam kereta, pasti saya menengadah ke atas, menonton iklan, sambil terkikik geli.
Yang saya baru tahu, ternyata
banyak iklan di Indonesia yang ternyata adaptasi, atau bahkan diambil langsung
dari iklan Thailand. Jadi, kalau melihat iklan di televisi, lalu kira-kira
pemainnya bermata agak sipit dan putih kulitnya, bisa saja itu sebenarnya iklan
Thailand yang di dubbing dengan
bahasa kita.
Salah satu kekreatifan orang
Thailand yang saya salut, adalah cara branding nya untuk MRT. MRT itu milik
pemerintah, namun mereka mengiklankan atau mengemasnya dengan unik sekali.
Pertama, desain logo nya yang lucu : berbentuk kelinci. Setiap kartu ada
beragam jenis sesuai keperluan pemakainya, yaitu untuk remaja, dewasa, dan
manula. Kartu-kartu tersebut dibedakan dengan warna-warna yang ceria. Iklannya
juga digarap dengan cara yang menarik, mengikuti perkembangan zaman. Jadi, MRT
walaupun milik pemerintah, tetapi tidak berkesan kaku dan terasa dekat di hati
penggunanya. Bahasa kerennya: “naik MRT, tetap gaul gitu lho” :)
Rabbit Card for MRT
*picture from : http://www.eugenegoesthailand.com
Rabbit Card for MRT
*picture from : http://www.eugenegoesthailand.com
Satu kata untuk orang-orang disini
: Fashionable !
Segala mata memandang, baik perempuan maupun laki-laki nya terlihat sangat ‘melek’ mode. Terutama saat naik MRT. Perempuan memakai high heels saat naik MRT, merupakan pemandangan yang sudah biasa disini. Dalam hati, saya membayangkan betapa susah dan pegalnya naik turun tangga stasiun, saya yang pakai sendal jepit saja, ngos-ngosan naik tangga-tangga di stasiun yang tinggi dan cukup banyak itu (padahal bilang saja kurang olahraga hhehe).
Segala mata memandang, baik perempuan maupun laki-laki nya terlihat sangat ‘melek’ mode. Terutama saat naik MRT. Perempuan memakai high heels saat naik MRT, merupakan pemandangan yang sudah biasa disini. Dalam hati, saya membayangkan betapa susah dan pegalnya naik turun tangga stasiun, saya yang pakai sendal jepit saja, ngos-ngosan naik tangga-tangga di stasiun yang tinggi dan cukup banyak itu (padahal bilang saja kurang olahraga hhehe).
Kata orang, di Thailand ini
terkenal sebagai rumahnya ‘KW’ alias ‘banci’, tapi sungguh,, saya jarang
menemukan mereka di tempat umum (kecuali sekitar tempat teater show yang dibintangi para KW). Saya pikir,
apa mungkin sudah tersamarkan dengan lautan wanita-wanita cantik yang saya
kagumi :p
Selain wanita nya yang cantik bak artis Hongkong, lelakinya pun tak mau kalah. Laki-laki mudanya tepat menjadi objek foto bersama (kalau berani), lalu anggap saja kita berfoto bersama artis Korea. Ada saat pertama kali saya terkejut ketika datang ke tempat hotel saya menginap. Cling cling. Hotel officer nya ciamik semua. Baik dari yang membawakan koper, sampai resepsionisnya. Ya ampun, ternyata benar drama-drama Thailand sekarang, laki-laki disini tampan betul hhaha. Tapi ya itu mungkin keberuntungan saya saja bisa bertemu mereka, karena setelah dikaji ulang, banyak juga yang bertemu tidak semenarik yang saya bilang.
Akhirnya setelah menetap selama beberapa hari, saya menemukan alasan
mengapa wanita-wanita disini rata-rata fashionable. Jelas, harga baju, sepatu, dan tas
disini murah-murah! Bahkan saat jam pulang kantor, di jalanan, banyak ditemukan
lapak-lapak yang menggelar dagangan baju,dll. Saat saya cek harganya, bikin iri
saja T.T
Saya baru pertama kali ini naik
MRT. Kalo busway Jakarta sih sudah sering. Bukannya ingin membanding-bandingkan
yang dimiliki Negara lain dengan Negara kita, namun perbandingan kadang perlu
agar tercapai kemajuan yang lebih sempurna (ahem :)).
Pertama, stasiun MRT Bangkok lebih terawat. Tangganya walau tidak sebening lantai yang baru disikat, tapi keamanannya terjaga. Ga ada yang reyot-reyot, bolong-bolong, atau berbunyi pas diinjak. Terlebih karena tangganya terbuat dari semen batu, bukan besi seng, Jadi untuk orang yang takut ketinggian seperti saya, tancap lah naik jembatan.
Kedua, pegawainya ramah dan siap
membantu. Saya dan keluarga pernah terkejut karena saat ingin lewat ‘gerbang
pemakan koin’ (tahu maksud saya kan), kami sempat dihardik dengan suara keras
oleh petugas stasiun laki-laki bertubuh besar. Saat itu memang kami sempat agak
linglung dan tak tentu arah harus kemana. Tapi ternyata sebenarnya petugas itu
bukan menghardik, melainkan bertanya pada kami. ‘Hardikan’ yang kami pikir itu,
ternyata memang karena sudah dari sana nya logat sang petugas yang seperti
logat Batak (ditambah pengucapan bahasa inggris mereka yang tidak kami mengerti,
jadi kami pikir dia marah-marah hhehe). Setelah dijelaskan dengan bahasa
tarzan, ba-bi-bu, dan bantuan dari sang ahli yang lumayan mengerti kami
(petugas ‘Batak’ itu akhirnya menyerah pada kami, dan memanggil temannya),
mereka tersenyum ramah kok sambil mengantar kepergian kami menuju ‘gerbang
pemakan koin’.
Ketiga, petugasnya disiplin dan
juga orang-orangnya. Di saat antri busway terasa begitu membahayakan (dorong
sana, dorong sini), antrian di
stasiun ini rapi. Tak ada satupun yang berniat dorong-dorongan (jujur saya
tidak tahu kalau jam sibuk, apa akan berbeda). Para petugas juga jeli dan
mengawasi satu persatu orang yang melintasi ‘gerbang pemakan koin’.
Oiya, MRT Bangkok menyediakan
sarana kartu dan koin untuk pengguna MRT. Kartu disediakan untuk pengguna yang
sering menggunakan MRT (jadi tidak perlu membeli setiap ingin naik, cukup pakai
kartu), sedangkan koin untuk yang sekali pakai (perlu dibeli setiap ingin naik
MRT).
Keempat, ketepatan waktu. Cuma
berdiri sebentar saja, MRT sudah datang menjemput. Jadi wajar kalau banyak yang
bergantung pada MRT ini, seperti anak sekolah, karyawan kantor, orang yang
janjian sama temannya hhehe.
Sebenarnya, busway di Jakarta juga
cukup mengagumkan kok. Saya tak perlu khawatir nyasar kalau sedang keliling-keliling
Jakarta, cukup minta abang angkot “ke halte busway terdekat, bang”; jalur
busway sudah tersedia di setiap stasiun. Petugasnya juga selama ini sebagian
besar ramah-ramah dan sangat membantu untuk orang yang “banyak nanya” dan “buta
arah” seperti saya. Jadi kita seharusnya cukup bangga dengan inovasi busway
ini, namun mungkin perlu beberapa perbaikan kecil yang jika diperbaiki, akan
lebih bersahaja busway kita :)
With my mom; waiting for the next MRT
Akhirnya saya pergi ke luar negeri
juga! Setelah bertahun-tahun bermimpi bisa pergi ke luar negeri,
gunting-gunting gambar wisata dari majalah untuk di tempel di buku harian
dengan tulisan “My Number One Dreaming”, nongkrongin Pinterest dan ngepin ratusan
gambar dari kategori Travel, akhirnya saya keluar juga dari peradaban Indonesia
ini !
Bukan berarti, saya tidak suka
dengan Indonesia. Indonesia punya banyak keanekaragaman dan sejak kecil saya
dan keluarga sudah keliling-keliling semua daerah di pulau Jawa ini. Namun,
dalam hati terdalam ingin sekali rasanya melihat “dunia luar”, selain rasa
sirik yang melanda dikala melihat foto-foto teman di Facebook yang sudah ada
salju dan monumen-monumen asingnya.
Oh tapi jangan berimajinasi
berlebihan dulu. Saya bukan ke Eropa, atau Australia, atau negeri Barat lainnya
(memang Sun Gokong?).
Saya pergi ke negeri beras. Beras?
Yap. Siapa lagi yang tak pernah kenal Beras Thailand yang pulen dan wangi itu.
Bagi segelintir orang yang sudah sering ke luar negeri, reaksi saya mungkin
dirasa berlebihan. “Oh ya ampun ‘cuma’ ke Thailand toh”, “Ya elah, Thailand
doank, deket kali”, “Kirain kemana ckck”. Okay,
but seriously, try to imagine if you are in my condition: keluarga Anda
bukanlah keluarga super kaya yang bisa tiap bulan pergi ke Cina atau Singapura;
seluruh anggota keluarga : mama, papa, kakak perempuan saya semuanya sudah
pernah ke luar negeri, kecuali saya :(
Jadi, yang senasib sama saya pasti,
walaupun cuma seuprit, ada rasa excited
di lubuk hati terdalamnya.
Thailand dipilih keluarga saya
karena :
1. Papa dan
cici saya belum pernah kesana (saya sih tidak perlu ditanya)
2. Mama saya
pernah kesana, tapi belum puas.
3. Thailand
terkenal negeri yang murah meriah, surga belanja, plus banyak yang bisa dilihat
(cocok buat keluarga saya yang suka tiga-tiganya)
4. Mama saya
yang sudah pernah kesana dan tahu jalan, jadi ga perlu bayar tur dan tour
guide (hemat nan apik pula :))
Dag dig dug.
Mulai jalan satu langkah menuju
impian saya : traveling around the world
!
Sudah cukup lama saya tidak naik
pesawat. Terakhir, waktu saya SD kelas 2, jadi hampir 15 tahun (ketahuan deh
umur saya :p)
Agak parno makanya. Takut jatuh. Takut
mabok. Takut teroris.
Saya duduk dekat jendela. Maksudnya
ingin lihat pemandangan. Pemandangannya bagus-bagus deh, lebih tepatnya,
AWANnya bagus-bagus.
Sebelah saya orang Indonesia, dari
raut muka, saya pikir saya harus panggil dia tante. Sebelahnya tante, ada tante
bule juga. Pertama, si tante indo ajak ngomong saya. Nanya sama siapa ke
Thailand, mau kemana aja, dan dia jawab,‘oh iya itu bagus tuh’, ‘saya juga mau
kesana’ bla bla. Baik kok orangnya. Sampai kemudian dia nanya juga ke si tante
bule. Wuih, reaksinya berbeda dibanding ngomong sama saya. 2 kali lipat lebih
ramah. Padahal awalnya, si tante bule cuma ngangguk-ngangguk dan jawab singkat.
Tapi dia cerita terus sepanjang banjir kanal Timur di Jakarta.
Tante indo : Are you going to
Thailand too? (jelas-jelas pesawatnya langsung ke Thailand)
Tante bule : Yes
Tante indo : Ow, is it first time
for you or ?
Tante bule : This is my third time.
Tante indo : Wow, Thailand really
is very good ya. Did you go by yourself?
Tante bule : *angguk
Tante indo : I went with my family, my son, that is
my father, and that is my mother, my nephew (sambil nunjuk-nunjuk ke bangku
seberang)
Tante bule : Owh..
Tante indo : Did you go to Phuket.
Phuket is very nice! I heard it is really beautiful. And the pricelist in
Bangkok is very cheap !
Tante bule : Owh yes, yes.
Terus dan terus si tante indo
bicara, sementara tante bule ngangguk-ngangguk.
Bahkan topik si tante indo, makin
melebar. Dia tanya kerjaan si tante bule dan cerita panjang lebar (lagi) soal
pekerjaan dia.
And you
know? Di akhir pembicaraan, si tante indo mengajak tante bule
untuk foto bersama. “For my profile picture”, indo’s aunt said while smiling. Saya
lihat sepersekian detik, tante bule ‘cengok’, yang kemudian akhirnya dia jawab,“oh
yes, okay”. Kemudian, JEPRET! Gaya berfoto dengan pegang blackberry diatas.
Aduh, rasanya ingin sembunyi di kolong
kursi karena sama-sama satu tempat asal.
- Leave your comment • Category: flight stories
- Share on Twitter, Facebook, Delicious, Digg, Reddit
Powered by Blogger.